Pages

Jumat, 15 April 2011

“MANDE RUBIAH” DI LUNANG SILAUT (PESSEL) HUBUNGANNYA DENGAN BUNDO KANDUANG DI KERAJAAN PAGARUYUNG

Nama Mande Rubiah dan Bundo kanduang menjadi panutan bagi sebagian besar masyarakat Minang, mande Rubiah atau Bundo Kanduang menjadi teladan dalam bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Istilah mande berasal dari sebuah profil seorang ibu yang ramah, pengasih, penyayang (sifat rabb yang menjadi rububiyah). 

Mande Rubiah dan Bundo Kanduang sebenarnya adalah dua nama untuk satu orang. Bundo Kanduang adalah nama ketika berada di Pagaruyung, sedangkan Mande Rubiah merupakan nama setelah kembali kekampung asal, yaitu Lunang (hulu Indopuro). Maka perlu kita meninjau kembali kutipan dari Teks Hikayat Tuanku Nan Muda Pagaruyung, yang dikenal dengan kaba Cindua Mato, sebuah cerita klasik bernuansa sejarah kerajaan Pagaruyung di dalam Alam Minangkabau beberapa abad yang lalu.
Ketika sutan Rumandung yang bergelar Dang Tuangku, masih berumur 5 tahun dan Cindua Mato berumur 4 tahun 2 bulan, Basa Ampek Balai mengadakan pertemuan besar dibukit gombak, pada pertemuan ini, secara bulat dimufakati untuk mengangkat Romandung sebagai pemimpin Anjung Rajo Alam. Karena Romandung masih kecil maka dimufakati pula untuk mengangkat Kambang Daro Marani sebagai pelaksana tugas sehari-hari dari pimpinan Anjung Rajo Alam dengan gelar penghormatan Bundo Kanduang.
Masa ini pula dikenal dengan masa kejayaan kerajaan Pagaruyung, karena masyarakatnya hidup dengan makmur dan damai. Islampun telah menjadi panutan bagi masyarakat kalangan dalam istana.
Suatu hari di istana Pagaruyung, Setelah Dang Tuangku menginjak usia dewasa, Bundo Kandung memberi petuah tentang seluk-beluk pemerintahan, hukum, undang-undang, adat istiadat, serta pandangan hidup sebagai orang Minangkabau kepada Dang Tuanku, putra tunggalnya. Saat ini pula Dang Tuangku diangkat sepenuh untuk duduk di singasana menjadi pimpinan Anjung Rajo Alam yang bergelar Tuangku Syah Alam. Oleh Bundo Kandung, Dang Tuanku kemudian diperintahkan menghadiri gelanggang yang diadakan oleh Datuk Bandaro di Sungai Tarab dengan membawa serta Cindua Mato, anak Kambang Bandoari, untuk ditunangkan dengan Puti Lenggo Geni, putri Datuk Bandaro.
Di Sungai Tarab, Cindua Mato mendapat berita dari Si Langkaneh dan Lalaik Tuo, pedagang keliling, bahwa Puti Bungsu, tunangan Dang Tuanku, anak Tuanku Rajo Mudo di Ranah Sikalawi, segera dikawinkan dengan Rangkayo Imbang Jayo, Raja Tanjung Sungai Ngiang. Menurut kabar, diterimanya lamaran Rangkayo Imbang Jayo oleh Tuanku Rajo Mudo disebabkan Dang Tuanku diserang penyakit kulit lalu diasingkan di sebuah pondok di tepi sungai.
Dang Tuanku, Cindua Mato, dan Bundo Kandung sangat terhina dan marah kepada Tuanku Rajo Mudo yang merupakan adik kandung Bundo Kandung sendiri. Karenanya, Bundo Kandung dan keluarga istana Pagaruyung mengadakan rapat besar yang dihadiri oleh Basa Ampek Balai serta Raja Dua Selo. Di dalam rapat diputuskan bahwa Cindua Mato diutus ke Ranah Sikalawi untuk membawa Si Binuang, kerbau istana, sebagai tanda turut gembira karena Puti Bungsu telah mendapatkan jodohnya, tetapi sekaligus sebagai ungkapan rasa sedih karena perjodohan antara Puti Bungsu dengan Dang Tuanku dihancurkan secara sepihak oleh Tuanku Rajo Mudo.
Di luar sepengetahuan Bundo Kandung dan para pembesar Alam Minangkabau, Cindua Mato memperoleh perintah dari Dang Tuanku untuk membawa Puti Bungsu ke Pagaruyung dalam keadaan serta cara bagaimana pun juga.
Melalui cara yang licin, menjelang pernikahannya dengan Rangkayo Imbang Jayo, Puti Bungsu akhirnya “dilarikan” Cindua Mato ke istana Tuan Kadhi di Padang Ganting sebelum kemudian diantarkan ke Pagaruyung. Untuk menghindari kejaran Rangkayo Imbang Jayo, maka Cindua Mato di suruh menghindar ke pantai barat, di hulu batang aia Indopuro yaitu Lunang, Sambil menyelidiki tempat yang akan dijadikan oleh Bundo Kanduang, Dang Tuangku, Puti Bungsu dan perangkat istana lainnya sebagai tempat mengirab.
Karena Cindua mato telah melarikan Puti Bungsu yang akan dinikahkan dengan Rangkayo Imabang Jayo dari Ranah Sikalawi, maka Rangkayo Imbang Jayo malu dan marah sekali, lalu menyerang Pagaruyung, akan tetapi dalam penyerangannya Rangkayo Imbang jayo tewas terbunuh oleh rajo duo selo di dalam pertempuran.
Tiang Bungkuk, ayah Rangkayo Imbang Jayo menuntut balas atas kematian anaknya. Bersama pasukan yang besar, Tiang Bungkuk menyerang Pagaruyung. Untuk menghindari perang dan pertumpahan darah yang lebih besar lagi yang akan mengorbankan banyak rakyatnya, maka Bundo Kandung, Dang Tuanku, dan Puti Bungsu yang sudah menjadi istrinya, meninggalkan Pagaruyung dan mengirab ke tanah asal yaitu di Lunang. Untuk mengihindari kejaran Tiang Bungkuk dan pengikutnya maka dibuatlah suatu berita bahwa Bundo Kandung, Dang Tuangku, Puti Bungsu terbang kelangit. 
Cindu mato diperintah oleh Dang Tuangku untuk tetap tinggal di istana, dan Dang Tuangku memberi petunjuk kepada Cindua mato untuk “menyerah” kepada Tiang Bungkuk, lalu Cindua Mato dibawa ke Tanjung Sungai Ngiang untuk menjadi orang suruhannya. Setelah mempelajari kelemahannya, Cindua Mato akhirnya dapat mengalahkan Tiang Bungkuk.

Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger